Pulau Serangan adalah pulau yang
terletak di utara Kota Denpasar. Pulau Serangan adalah Pulau kecil yang menjadi
satu-satunya tempat penangkaran penyu di Indonesia. Di pulau ini juga terdapat
sebuah Pura, yaitu Pura Sakenan yang cukup terkenal di masyarakat. Setiap
Odalan, Pura Sakenan selalu dipenuhi oleh warga sekitar untuk menghaturkan
bhakti. Pulau yang dulunya mempunyai luas 73 hektare ini dapat di kunjungi
dengan melewati satu jembatan penghubung, itupun jika air pantainya sedang
surut, kalau sedang pasang, jembatannya akan tenggelam.
Pulau Serangan banyak juga yang
menyebutnya dengan Pulau Penyu. Pulau Serangan merupakan tempat penangkaran
Penyu Hijau. Dan disaat tertentu ada momen menarik yang bisa disaksikan
langsung di pulau ini, yakni proses melepaskan anak Penyu Hijau atau yang
disebut dengan Tukik ke laut. Selain bisa menyaksikan Penyu-penyu yang ada
disini, pengunjung juga bisa mengabadikan keindahan Pulau Serangan yang
terkenal dengan pantainya yang indah dan deburan ombaknya yang tinggi. Dikala
musim penghujan datang, maka berimplikasi pada peningkatan gelombang menjadi
tinggi yang biasanya terjadi pada bulan November – April. Makanya dianjurkan
kalau mengunjungi Pulau Serangan jangan lupa untuk membawa alat potret atau
kamera yang sangat berguna untuk mengabadikan momen-momen penting seperti
sunset dan melepaskan Tukik ke laut.
Pulau Seragan juga memiliki hutan
bakau. Namun sangat disayangkan karena kelestarian ekosistemnya sudah
terganggu. Untuk itu, penduduk lokal dan juga para penggiat kelestarian alam
bahu-membahu menanam bibit bakau yang baru. Hutan bakau sangat signifikan
peranannya karena memiliki perananan dalam menjaga kelestarian alam.
Namun kini, Pulau Serangan sudah
tidak sesederhana itu. Luas Pulau serangan
sudah menjadi 4 kali dari luas sebelumnya.
Untuk berkunjung ke pulau serangan juga sudah sangat mudah, hanya dengan
melewat Jl. Raya by pass Sanur – Nusa Dua ke arah bandara, dan secara
infrastruktur jalan juga sudah sangat baik.
Desa Serangan terdiri dari enam
banjar dan satu kampung. Jumlah jiwa di PulauSerangan mencapai 3253 orang. 85%
penduduk bekerja sebagai nelayan. Sejak tahun 70-an ada industri pariwisata di
Pulau Serangan, namun pada awal tahun 90-an, kelompok investor mau membangun
resort, namanya Bali Turtle Island Development (BTID). Pembebasan tanah
masyarakat dilaksanakan, BTID melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
dan pengerukan dan penimbunan mulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir
4 kali lipat. Namun, dengan adanya proyekBTID menimbulkan permasalahan bagi
lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan.
Permasalahan utama merupakan
kehilangan mata pencaharian untuk masyarakat akibat kerusakan lingkungan dan
penimbunan yang dilakukan BTID. Akhirnya, proyek BTID terpaksa berhenti karena
kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998.
Proyek reklamasi pulau Serangan
sebenarnya sudah di mulai sejak tahun 1990-an, pada masa pemerintahan Presiden
Suharto. Tommy dan Bambang yang merupakan keluarga Cendana adalah salah satu
penggagas reklamasi pantai serangan bersama rekan lainnya.
Penguruban Pulau Serangan juga
mengakibatkan perubahan arus laut. Ini dikarenakan adanya jalan yang kini
menghubungkan pulau serangan. Dampak negative yang ditimbulkan secara fisik
dari pengembangan pulau Serangan bisa
terlihat jelas, yaitu terjadinya perubahan alur ombak laut pada pesisir pantai
dikawasan selatan. Kalau mulanya atau sebelum pengembangan, ombak laut bisa
meliuk melalui sela antara pulau Serangan dengan pulau Bali, maka sekarang tidak
lagi, sehingga ombak laut berubah alur. Dengan perubahan ini, berakibat pada
sisi-sisi daerah pesisir pantai lainnya terutama yang berjarak antara 1 sampai
10 mil laut dari pulau serangan. Secara
jelas dapat dilihat adalah terjadinya kerusakan pada daerah pantai sekitar
Sanur, bahkan sampai ke Padang Galak. Disamping itu juga terjadi dampak
terhadap biota laut di sekitar pulau
Serangan sebagai akibat menurunnya pasokan aliran air laut yang biasanya menggenangi secara normal terhadap
biota laut tersebut.
Sebelum penguruban Pulau Serangan,
masyarakat dijanjikan dengan ekonomi masyarakat Serangan akan meningkat akibat
proyek. Dan yang terjadi malah sebaliknya. Perekekonomian di Serangan mengalami
penurunan. Selain 150 warga Serangan yang di-PHK, kebanyakan penduduk tidak
dapat pekerjaan dalam proyek BTID. Penduduk yang mempunyai mata pencaharian
sebagai nelayan kehilangan pekerjaannya karena penimbunan di dataran pasang
surut dan kerusakan lingkungan lain. Hal itu menyebabkan mereka mengalami
kesusahan dalam aspek ekonomi kehidupannya. Menurut salah satu penduduk
Serangan, kerugian masyarakat sudah mencapai Rp8.829.250.000 per tahun.
Beberapa penduduk Serangan mencoba untuk beralih, mencari sumber nafkah lain.
Seperti menjual batu karang dan beberapa penduduk yang terpaksa menambang untuk
menghidupi keluarganya karena ikan sudah tidak ada lagi.
Rencana awal dari penguruban pulau
Serangan ini adalah Pulau Serangan akan dibuat sebagai one stop place untuk
informasi pariwisata. Kabarnya di tempat ini juga akan dibuat sebuah casino-casino
model di christmas island. Mungkin itu yang menjadi rencana awal, namun sampai
saat ini, rencana itu belum juga terlaksana. Pulau serangan malah menjadi Pulau
yang terbengkalai.
Pulau Serangan yang sekarang, adalah
sebuah pulau yang tandus, dengan hiasan sebuah gunung sampah yang bau dan
menjijikan. Disebelah Pulau Serangan memang terdapat sebuah TPA yang menjadi
tempat penimbunan sampah. Saat ini, warga Pulau Serangan memiliki pusat
pengelolaan sampah terpadu. Mereka berencana mengolah sampah sampai zero waste,
agar tidak ada lagi yang perlu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung,
TPA terbesar di Bali yang menjadi tetangga dekat mereka.
Lahan tandus hampir dua hektar itu
biasanya terlihat kumuh dengan sampah menumpuk bak gunung yang megah.
Gerombolan sapi juga sering terlihat ada dalam tempat pembuangan sampah Suwung tersebut. Sampah hanya ditimbun
sehingga menjadi sumber makanan ternak warga sekitar.
Di TPA tersebut terdapat papan yang cukup
mencolok berisi gambar seekor penyu dibuat dari kaleng minuman soda bekas.
Papan ini bertuliskan “This thrash installation made of 1000 cans collected
from Serangan island.” Ada dua papan sejenis lain bertuliskan bank sampah dan
bank uang.
Ketika awal-awal program ada
komunitas dan LSM yang mendukung. Sejumlah warga sedang mengembangkan program
Pengembangan Ekologi Terpadu (PET). Selain memilah sampah juga ingin mengelola
hasil olahannya. Ada sekitar 30 pekerja pemilah dan pemungut sampah yang
menangani 7 lingkungan yakni Banjar Ponjok,
Kaja, Tengah, Kawan, Peken, Dukuh, dan Lingkungan Kampung Bugis. Kompos juga langsung
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman khas Serangan yang sudah hampir punah
seperti bengkoang.
Sebagian wilayah Serangan hasil
reklamasi masih gersang. Pohon cemara masih bertahan di hamparan batu kapur.
Sebagian besar lahan dimiliki investor. Sementara sebagian kecil adalah wilayah
pemukiman. Di area ini, sebuah kelompok nelayan masih bertahan melakukan upaya
konservasi. Seperti melakukan perbaikan yang sulit dilakukan. Mencoba membuat
ekosistem baru, karena perairan rusak pasca reklamasi. Nelayan yang kehilangan
pekerjaan pasca reklamasi memilih menambang terumbu karang untuk dijual atau
bahan bangunan. Menangkap ikan dengan sianida dan langkah instan cari duit lainnya.
Hingga kini mereka masih menumbuhkan terumbu karang dan merayu ikan-ikan datang
lagi. Tentu Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang.
Pascareklamasi Serangan, perubahan
pola kehidupan masyarakat Serangan sangat drastis. Mudahnya akses masuk ke
pulau kecil tersebut, orang-orang yang masuk ke sana sulit dikontrol. Sehingga,
kasus-kasus kriminalpun semakin meningkat. Ditambah lagi, dengan kondisi lahan
yang dipenuhi semak belukar, hal itu membuat orang leluasa berbuat apa saja, di
antaranya bunuh diri, berbuat mesum atau mobil bergoyang, dan pemalakan.
Mengingat wilayah tersebut jarang
disentuh polisi, kerap dimanfaatkan pengusaha nakal, misalnya menimbun atau
penangkaran ikan yang dilindungi. Selain itu, Pulau Serangan juga kerap
dimanfaatkan sebagai tempat untuk berbisnis kafe - kafe illegal.
Proyek BTID berdampak pada ‘kain
sosial’. Penduduk Serangan mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia – tanahnya
dibebaskan oleh pihak militer dengan cara intimidasi, dan dengan ganti rugi
yang tidak wajar. Di samping itu, kesucian lahan dan pura Pulau Serangan,
termasuk Pura Sakenan, dinilai ‘diganggu’ oleh proyek BTID. ‘Kain sosial’
Serangan berubah secara drastis dengan kehilangan ‘budaya nelayan’
Serangan, yang diperparahkan karena
budaya baru susah dicari untuk penduduk ini yang pada umumnya kurang
berpendidikan. Juga, proyek juga menyebabkan konflik dalam masyarakat Serangan, yang dulu relatif
tentram, dengan demikian merusak persatuan masyarakat Serangan.
Pengerukan yang dilakukan oleh PT. BTID
dengan kedalaman lebih dari 40 meter dengan lebar 15 m dengan bentuk menyerupai
kanal di dasar laut memanjang dari sisi timur laut serangan hingga ke arah
barat lalu membelok ke arah selatan, akibat dari pengerukan ini adalah
timbulnya endapan lumpur dengan tebak kurang lebih 1 m di beberapa tempat.
Persoalan ini merembet ke Pelabuhan Benoa yang terletak di sisi barat daya dari
pulau serangan. Beberapa jalur keluar masuk kapal dari pelabuhan ditemukan
pendangkalan akibat endapan lumpur.
Pulau Serangan yang indah dan sacral,
sekarang seakan tergoyak tidak berdaya. Hanya bisa diam, menunggu perlakuan
apalagi yang akan diterimanya. Disaat seperti ini, saat Pulau Serangan dipenuhi
dengan timbunan sampah bau, dipenuhi dengan tinja sapi, dipenuhi dengan semak
belukar, dipenuhi dengan kafe – kafe illegal dan kerusakan lainnya yang
diakibakan oleh oknum yang tamak itu harus ditanggung oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat bahu membahu untuk memberbaharui alamnya. Masyarakat yang sadar akan
pentingnya alam, berusaha untuk mengembalikan Serangan seperti dulu. Pemerintah
yang berwenang seharusnya lebih kritis dalam mengambil keputusan, tidak hanya
memprioritaskan uang, namun juga keamanan dan kenyamanan masyarakat disana.
Perubahan tidak selalu akan menjadi lebih baik.
Masyarakat juga dinilai harus lebih
mempertimbangkan, pihak mana yang benar dan pihak mana yang hanya mencari
keuntungan semata, tanpa memikirkan keajegan pulau serangan. Sekarang proyek BTID berhenti karena
kekurangan dana, sementara kerusakan lingkungan dan kesusahan penduduk dalam
hidupnya berlangsung. Solusi untuk permasalahan yang muncul akibat BTID harus
ditemui, dan beberapa diajukan dalam Sampai sekarang, proyek BTID menimbulkan
lebih banyak permasalahan daripada pemanfaatan untuk masyarakat Serangan. Ada
kerusakan lingkungan, yang menyebabkan kehilangan mata pencaharian untuk 85%
penduduk yang merupakan nelayan pesisir. Ada pelanggaran HAM, ‘kain sosial’
telah berubah, dan penduduk Serangan mengalami kerugian besar.
Pulau Serangan harus dikembalikan
seperti dulu, saat ia masih menjadi idola para wisatawan, saat masih menyajikan
panorama yang indah. Kita semua harus saling sadar-menyadari betapa pentingnya
alam ini, alam yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Hutan bakau yang
mulai tercemar sampah, terumbu karang yang muali habis perlahan, ikan-ikan yang
kabur dan semua yang rusak harus diperbaiki. Hal ini tentu memerlukan kerjasama
antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga perlahan-lahan, melalui proses dan
waktu yang lama, Taksu Pulau Serangan dapat kembali seperti sedia kala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar