Senin, 17 Desember 2018

Contoh Essay: Kabar Pulau Serangan

Pulau Serangan adalah pulau yang terletak di utara Kota Denpasar. Pulau Serangan adalah Pulau kecil yang menjadi satu-satunya tempat penangkaran penyu di Indonesia. Di pulau ini juga terdapat sebuah Pura, yaitu Pura Sakenan yang cukup terkenal di masyarakat. Setiap Odalan, Pura Sakenan selalu dipenuhi oleh warga sekitar untuk menghaturkan bhakti. Pulau yang dulunya mempunyai luas 73 hektare ini dapat di kunjungi dengan melewati satu jembatan penghubung, itupun jika air pantainya sedang surut, kalau sedang pasang, jembatannya akan tenggelam.
Pulau Serangan banyak juga yang menyebutnya dengan Pulau Penyu. Pulau Serangan merupakan tempat penangkaran Penyu Hijau. Dan disaat tertentu ada momen menarik yang bisa disaksikan langsung di pulau ini, yakni proses melepaskan anak Penyu Hijau atau yang disebut dengan Tukik ke laut. Selain bisa menyaksikan Penyu-penyu yang ada disini, pengunjung juga bisa mengabadikan keindahan Pulau Serangan yang terkenal dengan pantainya yang indah dan deburan ombaknya yang tinggi. Dikala musim penghujan datang, maka berimplikasi pada peningkatan gelombang menjadi tinggi yang biasanya terjadi pada bulan November – April. Makanya dianjurkan kalau mengunjungi Pulau Serangan jangan lupa untuk membawa alat potret atau kamera yang sangat berguna untuk mengabadikan momen-momen penting seperti sunset dan melepaskan Tukik ke laut.
Pulau Seragan juga memiliki hutan bakau. Namun sangat disayangkan karena kelestarian ekosistemnya sudah terganggu. Untuk itu, penduduk lokal dan juga para penggiat kelestarian alam bahu-membahu menanam bibit bakau yang baru. Hutan bakau sangat signifikan peranannya karena memiliki perananan dalam menjaga kelestarian alam.
Namun kini, Pulau Serangan sudah tidak sesederhana itu.  Luas Pulau serangan sudah menjadi 4 kali dari luas sebelumnya.  Untuk berkunjung ke pulau serangan juga sudah sangat mudah, hanya dengan melewat Jl. Raya by pass Sanur – Nusa Dua ke arah bandara, dan secara infrastruktur jalan juga sudah sangat baik.
Desa Serangan terdiri dari enam banjar dan satu kampung. Jumlah jiwa di PulauSerangan mencapai 3253 orang. 85% penduduk bekerja sebagai nelayan. Sejak tahun 70-an ada industri pariwisata di Pulau Serangan, namun pada awal tahun 90-an, kelompok investor mau membangun resort, namanya Bali Turtle Island Development (BTID). Pembebasan tanah masyarakat dilaksanakan, BTID melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan pengerukan dan penimbunan mulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir 4 kali lipat. Namun, dengan adanya proyekBTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan.
Permasalahan utama merupakan kehilangan mata pencaharian untuk masyarakat akibat kerusakan lingkungan dan penimbunan yang dilakukan BTID. Akhirnya, proyek BTID terpaksa berhenti karena kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998.
Proyek reklamasi pulau Serangan sebenarnya sudah di mulai sejak tahun 1990-an, pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Tommy dan Bambang yang merupakan keluarga Cendana adalah salah satu penggagas reklamasi pantai serangan bersama rekan lainnya.
Penguruban Pulau Serangan juga mengakibatkan perubahan arus laut. Ini dikarenakan adanya jalan yang kini menghubungkan pulau serangan. Dampak negative yang ditimbulkan secara fisik dari  pengembangan pulau Serangan bisa terlihat jelas, yaitu terjadinya perubahan alur ombak laut pada pesisir pantai dikawasan selatan. Kalau mulanya atau sebelum pengembangan, ombak laut bisa meliuk melalui sela antara pulau Serangan dengan pulau Bali, maka sekarang tidak lagi, sehingga ombak laut berubah alur. Dengan perubahan ini, berakibat pada sisi-sisi daerah pesisir pantai lainnya terutama yang berjarak antara 1 sampai 10 mil laut dari  pulau serangan. Secara jelas dapat dilihat adalah terjadinya kerusakan pada daerah pantai sekitar Sanur, bahkan sampai ke Padang Galak. Disamping itu juga terjadi dampak terhadap  biota laut di sekitar pulau Serangan sebagai akibat menurunnya pasokan aliran air laut yang  biasanya menggenangi secara normal terhadap biota laut tersebut.
Sebelum penguruban Pulau Serangan, masyarakat dijanjikan dengan ekonomi masyarakat Serangan akan meningkat akibat proyek. Dan yang terjadi malah sebaliknya. Perekekonomian di Serangan mengalami penurunan. Selain 150 warga Serangan yang di-PHK, kebanyakan penduduk tidak dapat pekerjaan dalam proyek BTID. Penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan kehilangan pekerjaannya karena penimbunan di dataran pasang surut dan kerusakan lingkungan lain. Hal itu menyebabkan mereka mengalami kesusahan dalam aspek ekonomi kehidupannya. Menurut salah satu penduduk Serangan, kerugian masyarakat sudah mencapai Rp8.829.250.000 per tahun. Beberapa penduduk Serangan mencoba untuk beralih, mencari sumber nafkah lain. Seperti menjual batu karang dan beberapa penduduk yang terpaksa menambang untuk menghidupi keluarganya karena ikan sudah tidak ada lagi.
Rencana awal dari penguruban pulau Serangan ini adalah Pulau Serangan akan dibuat sebagai one stop place untuk informasi pariwisata. Kabarnya di tempat ini juga akan dibuat sebuah casino-casino model di christmas island. Mungkin itu yang menjadi rencana awal, namun sampai saat ini, rencana itu belum juga terlaksana. Pulau serangan malah menjadi Pulau yang terbengkalai.
Pulau Serangan yang sekarang, adalah sebuah pulau yang tandus, dengan hiasan sebuah gunung sampah yang bau dan menjijikan. Disebelah Pulau Serangan memang terdapat sebuah TPA yang menjadi tempat penimbunan sampah. Saat ini, warga Pulau Serangan memiliki pusat pengelolaan sampah terpadu. Mereka berencana mengolah sampah sampai zero waste, agar tidak ada lagi yang perlu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, TPA terbesar di Bali yang menjadi tetangga dekat mereka.
Lahan tandus hampir dua hektar itu biasanya terlihat kumuh dengan sampah menumpuk bak gunung yang megah. Gerombolan sapi juga sering terlihat ada dalam tempat pembuangan sampah  Suwung tersebut. Sampah hanya ditimbun sehingga menjadi sumber makanan ternak warga sekitar.
Di TPA tersebut terdapat papan yang cukup mencolok berisi gambar seekor penyu dibuat dari kaleng minuman soda bekas. Papan ini bertuliskan “This thrash installation made of 1000 cans collected from Serangan island.” Ada dua papan sejenis lain bertuliskan bank sampah dan bank uang.
Ketika awal-awal program ada komunitas dan LSM yang mendukung. Sejumlah warga sedang mengembangkan program Pengembangan Ekologi Terpadu (PET). Selain memilah sampah juga ingin mengelola hasil olahannya. Ada sekitar 30 pekerja pemilah dan pemungut sampah yang menangani 7 lingkungan yakni  Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken, Dukuh, dan Lingkungan Kampung Bugis. Kompos juga langsung dimanfaatkan untuk budidaya tanaman khas Serangan yang sudah hampir punah seperti bengkoang.  
Sebagian wilayah Serangan hasil reklamasi masih gersang. Pohon cemara masih bertahan di hamparan batu kapur. Sebagian besar lahan dimiliki investor. Sementara sebagian kecil adalah wilayah pemukiman. Di area ini, sebuah kelompok nelayan masih bertahan melakukan upaya konservasi. Seperti melakukan perbaikan yang sulit dilakukan. Mencoba membuat ekosistem baru, karena perairan rusak pasca reklamasi. Nelayan yang kehilangan pekerjaan pasca reklamasi memilih menambang terumbu karang untuk dijual atau bahan bangunan. Menangkap ikan dengan sianida dan langkah instan cari duit lainnya. Hingga kini mereka masih menumbuhkan terumbu karang dan merayu ikan-ikan datang lagi. Tentu Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang.
Pascareklamasi Serangan, perubahan pola kehidupan masyarakat Serangan sangat drastis. Mudahnya akses masuk ke pulau kecil tersebut, orang-orang yang masuk ke sana sulit dikontrol. Sehingga, kasus-kasus kriminalpun semakin meningkat. Ditambah lagi, dengan kondisi lahan yang dipenuhi semak belukar, hal itu membuat orang leluasa berbuat apa saja, di antaranya bunuh diri, berbuat mesum atau mobil bergoyang, dan pemalakan.
Mengingat wilayah tersebut jarang disentuh polisi, kerap dimanfaatkan pengusaha nakal, misalnya menimbun atau penangkaran ikan yang dilindungi. Selain itu, Pulau Serangan juga kerap dimanfaatkan sebagai tempat untuk berbisnis kafe - kafe illegal.
Proyek BTID berdampak pada ‘kain sosial’. Penduduk Serangan mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia – tanahnya dibebaskan oleh pihak militer dengan cara intimidasi, dan dengan ganti rugi yang tidak wajar. Di samping itu, kesucian lahan dan pura Pulau Serangan, termasuk Pura Sakenan, dinilai ‘diganggu’ oleh proyek BTID. ‘Kain sosial’ Serangan berubah secara drastis dengan kehilangan ‘budaya nelayan’
Serangan, yang diperparahkan karena budaya baru susah dicari untuk penduduk ini yang pada umumnya kurang berpendidikan. Juga, proyek juga menyebabkan konflik  dalam masyarakat Serangan, yang dulu relatif tentram, dengan demikian merusak persatuan masyarakat Serangan.
Pengerukan yang dilakukan oleh PT. BTID dengan kedalaman lebih dari 40 meter dengan lebar 15 m dengan bentuk menyerupai kanal di dasar laut memanjang dari sisi timur laut serangan hingga ke arah barat lalu membelok ke arah selatan, akibat dari pengerukan ini adalah timbulnya endapan lumpur dengan tebak kurang lebih 1 m di beberapa tempat. Persoalan ini merembet ke Pelabuhan Benoa yang terletak di sisi barat daya dari pulau serangan. Beberapa jalur keluar masuk kapal dari pelabuhan ditemukan pendangkalan akibat endapan lumpur.
Pulau Serangan yang indah dan sacral, sekarang seakan tergoyak tidak berdaya. Hanya bisa diam, menunggu perlakuan apalagi yang akan diterimanya. Disaat seperti ini, saat Pulau Serangan dipenuhi dengan timbunan sampah bau, dipenuhi dengan tinja sapi, dipenuhi dengan semak belukar, dipenuhi dengan kafe – kafe illegal dan kerusakan lainnya yang diakibakan oleh oknum yang tamak itu harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Masyarakat bahu membahu untuk memberbaharui alamnya. Masyarakat yang sadar akan pentingnya alam, berusaha untuk mengembalikan Serangan seperti dulu. Pemerintah yang berwenang seharusnya lebih kritis dalam mengambil keputusan, tidak hanya memprioritaskan uang, namun juga keamanan dan kenyamanan masyarakat disana. Perubahan tidak selalu akan menjadi lebih baik.
Masyarakat juga dinilai harus lebih mempertimbangkan, pihak mana yang benar dan pihak mana yang hanya mencari keuntungan semata, tanpa memikirkan keajegan pulau serangan.  Sekarang proyek BTID berhenti karena kekurangan dana, sementara kerusakan lingkungan dan kesusahan penduduk dalam hidupnya berlangsung. Solusi untuk permasalahan yang muncul akibat BTID harus ditemui, dan beberapa diajukan dalam Sampai sekarang, proyek BTID menimbulkan lebih banyak permasalahan daripada pemanfaatan untuk masyarakat Serangan. Ada kerusakan lingkungan, yang menyebabkan kehilangan mata pencaharian untuk 85% penduduk yang merupakan nelayan pesisir. Ada pelanggaran HAM, ‘kain sosial’ telah berubah, dan penduduk Serangan mengalami kerugian besar.
Pulau Serangan harus dikembalikan seperti dulu, saat ia masih menjadi idola para wisatawan, saat masih menyajikan panorama yang indah. Kita semua harus saling sadar-menyadari betapa pentingnya alam ini, alam yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Hutan bakau yang mulai tercemar sampah, terumbu karang yang muali habis perlahan, ikan-ikan yang kabur dan semua yang rusak harus diperbaiki. Hal ini tentu memerlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga perlahan-lahan, melalui proses dan waktu yang lama, Taksu Pulau Serangan dapat kembali seperti sedia kala. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar