Minggu, 19 Desember 2021

Korupsi Bansos Keji, Tanda Darurat Budaya Organisasi

 

Carut marut pembagian bansos dan indikasi penyelewangan anggaran menjadi bukti bahwa proyek ini memang banyak menyimpan persoalan. Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara diduga menerima suap sebesar Rp. 17 Miliar dari proyek paket bantuan sosial atau bansos Kementerian Sosial yang disalurkan di wilayah Jabodetabek. Survey ICW terhadap beberapa Lembaga disabilitas data di DKI Jakarta menyatakan bahwa 25% penerima bansos kaum disabilitas didapat belum sesuai dengan yang tertera. Kecurangan pada bansos ini dilakukan melalui 3 model yaitu : pengurangan item bansos, kualitas tidak layak, seharusnya mendapat uang tetapi ditukar dengan paket yang isinya tidak layak digunakan. 

 

Skenario korupsi bansos ini dilakukan dengan perhitungan yaitu harga per paketnya adalah Rp. 300.000, dikurangi biaya transporter Rp.15.000 dan biaya untuk goodie bag sebesar Rp. 15.000 juga. Sedangkan untuk jumlah paket keseluruhan adalah 23,70 juta paket atau senilai dengan Rp. 6,46 triliun. Menteri Sosial Juliari membentuk tim khusus yang terdiri dari direktur jenderal perlindungan jaminan social yaitu Pepen Nazaruddin dan dua orang sebagai pejabat pembuat komitmen yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Tim Khusus ini bertugas untuk menunjuk langsung pemenang tender dan menetapkan isi paket bansos. Peserta tender diminta menyerahkan fee minimal sebesar Rp. 10.000 per paket untuk Mensos. Nilai fee meningkat jadi 10-12% dari nilai proyek, dan juga uang tunai sebesar Rp. 100 Juta untuk surat peruintah kerja. Setiap pejabat parpol, anggota DPR, anggota BPK biasanya dapat jatah sekitar 2-3 juta paket yang pengadaannya menggunakan perusahaan lain. Belum selesai disana, masih ada fee lainnya untuk pejabat kementerian sosial (Sumber: Tempo).  Fakta mirisnya adalah ada dugaan bahwa kongkalikong korupsi bansos sudah direncanakan sejak Februari, menurut Agus Joko Pramono (Wakil Ketua BPK), korupsi biasanya memang sudah mulai direncanakan pada fase penganggaran, sehingga rencana ini diperkirakan sudah ada sejak setahun yang lalu (Mata Najwa: Korupsi Bansos).


Secara formal korupsi didefinisikan dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 2 ayat 1 adalah setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang lain, korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kemudian Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, korupsi menurut hukum di Indonesia adalah tindakan yang mengandung sejumlah unsur, yakni melawan hukum, merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan wewenang. Hanya sebagai hasil, namun itu merupakan proses yang berkaitan dengan faktor lingkungan dan sistem.


Korupsi saat ini seolah menjadi budaya bagi pejabat di Indonesia, seakan sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah penegakan hukum yang kurang tegas. Kerap kali para pelaku korupsi di tanah air, yang sudah jelas terbukti melakukan tindak korupsi dengan jumlah yang tentunya banyak malah mendapatkan sanksi yang dinilai kurang adil oleh masyarakat. Bukannya tanpa alasan, pada banyak kasus, salah satunya adalah kasus korupsi bansos dengan tersangkanya yaitu Menteri Sosial Juliari Batubara malah mendapat keringanan hukuman oleh hakim dengan alasan tersangka sudah cukup menderita karena mendapat cacian dari publik (Sumber: Kompas.com). Hal ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia memang tajam ke bawah namun tumpul ke atas apalagi dalam kasus korupsi. Mengenai hal ini butuhkan tindak nyata pemerintah dalam menindak kasus korupsi, tindak nyata yang bisa membuat calon-calon koruptor menjadi gentar bukannya malah merasa aman. Ini juga dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah yang oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat memang benar adanya. 

            

        Selain permasalahan pada penegakan hukum, yang menjadi akar dari kasus korupsi yang turun temurun terjadi adalah karena korupsi yang sudah menjadi budaya di kalangan pejabat elite. Budaya yang beranggapan bahwa perilaku korupsi menjadi hal yang wajar dan penuh toleransi untuk dilakukan mendukung hal ini terjadi terus menerus, entah budaya korupsi atau korupsi yang membudaya. Tentu saja budaya korupsi ini berkaitan erat dengan bagaimana budaya dalam pemerintah yang diimplementasikan. Budaya organisasi bisa diartikan sebagai karakteristik ataupun pedoman yang diterapkan oleh setiap anggota organisasi ataupun kelompok di dalam usaha tertentu. Perlu digaris bawahi bahwa budaya ini memiliki peranan yang penting dalam memotivasi dan juga meningkatkan efektivitas kerja suatu organisasi, baik itu dalam jangka pendek atau jangka panjang. Selain itu, budaya organisasi juga bisa dijadikan sebagai alat dalam menentukan arah organisasi dan juga mengarahkan apa yang boleh dan tidak dilakukan. Tanpa diterapkannya budaya organisasi, maka performa setiap anggota di dalamnya tidak bisa dilakukan secara maksimal. Untuk itu, budaya organisasi memiliki peranan yang penting dalam setiap organisasi atau perusahaan.

    

     Menurut buku Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the Competing Values Framework yang ditulis oleh Quinn, K. S. tahun 2006, perubahan dan manajemen budaya organisasi adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini kita berada pada era disrupsi, dimana semua hal berubah dengan cepat dan menyeluruh. Tingkat perubahan teknologi yang terkait dengan ledakan informasi telah menciptakan lingkungan yang tidak toleran terhadap status quo. Perubahan yang begitu cepat dan dramatis menyiratkan bahwa tidak ada organisasi yang dapat tetap sama untuk waktu yang lama dan bertahan. Oleh karena itu, tantangan saat ini bukanlah untuk menentukan apakah akan berubah tetapi bagaimana mengubah untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Runtuhnya beberapa perusahaan Fortune 500 tidak diragukan lagi disebabkan oleh upaya perubahan yang lambat, lamban, atau salah arah. Misalnya, tiga inisiatif perubahan organisasi yang paling umum dilaksanakan dalam dua dekade terakhir adalah inisiatif TQM, inisiatif perampingan, dan inisiatif rekayasa ulang (Cameron, 1997). Namun, organisasi yang telah menerapkan inisiatif kualitas untuk meningkatkan efektivitas, pada umumnya gagal. Rath and Strong (sebuah firma konsultan) mensurvei perusahaan Fortune 500 dan menemukan bahwa hanya 20 persen yang melaporkan telah mencapai sasaran kualitas mereka, dan lebih dari 40 persen mengindikasikan bahwa inisiatif kualitas mereka gagal total.


Poinya adalah bahwa tanpa perubahan mendasar lainnya, yaitu, perubahan budaya organisasi, hanya ada sedikit harapan untuk perbaikan kinerja organisasi yang bertahan lama. Meskipun alat dan teknik mungkin ada dan strategi perubahan diimplementasikan dengan penuh semangat, banyak upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi gagal karena budaya dasar organisasi—nilai, cara berpikir, gaya manajerial, paradigma, pendekatan pemecahan masalah—tetap sama. Keberhasilan penerapan TQM dan program perampingan, serta efektivitas kinerja organisasi yang dihasilkan, bergantung pada strategi perbaikan yang tertanam dalam perubahan budaya. Ketika TQM dan perampingan diterapkan secara independen dari perubahan budaya, mereka tidak berhasil. Ketika budaya organisasi ini merupakan target perubahan yang eksplisit, sehingga TQM atau inisiatif perampingan tertanam dalam upaya perubahan budaya secara keseluruhan, mereka berhasil. Efektivitas organisasi meningkat. Perubahan budaya adalah kuncinya.


Ketergantungan perbaikan organisasi pada perubahan budaya ini disebabkan oleh fakta bahwa ketika nilai, orientasi, definisi, dan tujuan tetap konstan—bahkan ketika prosedur dan strategi diubah—organisasi akan kembali dengan cepat ke status quo. Hal yang sama berlaku untuk individu. Tipe kepribadian, gaya pribadi, dan kebiasaan perilaku jarang berubah secara signifikan, meskipun ada program untuk mendorong perubahan seperti diet, rejimen olahraga, atau sekolah pesona. Tanpa pergantian tujuan fundamental, nilai, dan harapan organisasi atau individu, perubahan tetap dangkal dan durasi pendek (lihat Quinn, 1996). Upaya yang gagal untuk berubah, sayangnya, sering menghasilkan sinisme, frustrasi, kehilangan kepercayaan, dan kemerosotan moral di antara anggota organisasi.

 

Pertimbangkan kasus pabrik perakitan mobil General Motors yang terkenal di Fremont, California. United Auto Workers (UAW) mengorganisir berbagai program peningkatan kinerja telah dicoba (lingkaran kualitas, inisiatif hubungan karyawan, kontrol proses statistik, sistem insentif baru, kontrol yang lebih ketat, perampingan, dan lain-lain). Tidak ada yang berhasil. Kualitas, produktivitas, dan tingkat kepuasan tetap buruk. Keputusan dibuat untuk menutup pabrik pada akhir tahun 1982. Kemudian GM melakukan sesuatu yang menarik. Perusahaan mendekati pesaing terbaiknya, Toyota, dan menawarkan untuk merancang dan membangun mobil bersama. GM kehilangan pangsa pasar dari Toyota, sistem produksi Toyota secara umum dianggap sebagai yang terbaik di dunia pada saat itu, dan GM mengalami kesulitan mencari cara untuk memperbaiki rekor kinerjanya yang buruk, terutama dengan kondisi sekarang. GM menawarkan Toyota untuk membangun perusahaan patungan dengan nama NUMMI. Dua dekade kemudian, pabrik NUMMI terus memimpin perusahaan dalam sebagian besar bulan dalam kualitas dan produktivitas. Meski berusia lebih dari dua puluh tahun, eksperimen ini masih menjadi contoh bagi GM (dan bisnis manufaktur lainnya) tentang peningkatan dramatis yang mungkin terjadi.


Apa yang menyebabkan peningkatan dramatis dalam kinerja? penjelasan terbaik dari faktor yang paling penting dapat diilustrasikan dengan wawancara dengan salah satu karyawan produksi di NUMMI. Dia telah bekerja di fasilitas itu selama lebih dari dua puluh tahun. Dia diminta untuk menjelaskan perbedaan yang dia alami antara pabrik saat dikelola oleh GM dan pabrik setelah usaha patungan terbentuk. Anggota UAW ini mengatakan bahwa sebelum usaha patungan, dia akan pulang pada malam hari sambil menertawakan dirinya sendiri tentang hal- hal yang dia pikirkan di siang hari untuk mengacaukan sistem. Sekarang, karena jumlah klasifikasi pekerjaan telah dikurangi secara drastis (dari lebih dari 150 menjadi 6), kami semua diizinkan memiliki kartu nama pribadi dan membuat gelar kami sendiri. Judul yang saya taruh di kartu saya adalah 'direktur peningkatan pengelasan.” Tugasnya adalah memantau robot tertentu yang menyatukan bagian-bagian bingkai. “Sekarang ketika saya pergi ke permainan San Francisco 49ers atau permainan Golden State Warriors atau pusat perbelanjaan, saya mencari Geo Prism dan Toyota Corolla di tempat parkir. Ketika saya melihatnya, saya mengeluarkan kartu nama saya dan menulis di belakangnya, 'Saya membuat mobil Anda. Ada masalah, hubungi saya.’ Saya meletakkannya di bawah wiper kaca depan mobil. Saya melakukannya karena saya merasa bertanggung jawab secara pribadi atas mobil-mobil itu.”


Perbedaan antara Fremont pada tahun 1982 dan Fremont pada tahun 1992, pada saat wawancara dilakukan, merupakan cerminan dari perubahan budaya organisasi. Itu adalah perubahan di tingkat inti, berpusat pada nilai, di dalam tulang dari melihat dunia dengan satu cara pada tahun 1982 menjadi melihatnya dengan cara yang sama sekali berbeda satu dekade kemudian. Karyawan hanya mengadopsi cara berpikir yang berbeda tentang perusahaan dan peran mereka di dalamnya. Tingkat produktivitas, kualitas, efisiensi, dan moral yang lebih tinggi mengikuti langsung dari perubahan budaya perusahaan ini. Tanpa perubahan budaya, hanya ada sedikit harapan untuk perbaikan kinerja organisasi yang bertahan lama.

 

Disaat bencana dan kesulitan terjadi dimana mana, para pejabat publik malah seakan kehilangan rasa empatinya pada masyarakat. Banyak pejabat yang memilih untuk memakai anggaran untuk kesejahteraan masyarakat tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi dan kebutuhan euphoria sesaat, tanpa memikirkan bahwa yang dilakukan mengakibatkan ribuan rakyatnya tidak makan menahan lapar. Kerap kali penegak hukum juga seakan menjadi buta dan tuli, melihat berbagai bukti yang ada, dan menerima korupsi sebagai sesuatu hal yang wajar, tidak dituntaskan secara serius. Standar moral dikalangan pejabat publik dirasa semakin kabur bahkan hilang, korupsi menjadi sesuatu yang wajar dan membudaya. Saat kasus korupsi bansos pertama kali mencut ke publik, masyarakat merasa sangat kecewa dan juga marah. Kerugian korupsi bansos diperkirakan adalah yang paling besar dalam sejarah melebihi korupsi e-ktp sebesar 2,3 T,  BLBI 4,58 T. Keresahan masyarakat menjadi sebuah hal yang wajar. Keresahan ini yang harus dijawab oleh pemerintah. Akhir Januari 2021, Transparansi Internasional, Indeks persepsi korupsi Indonesia, dari angka 40 ke 37, dari peringkat 85 ke 105.  Penanganan Korupsi beberapa tahun belakangan menunjukan penurunan. Korupsi bansos hanyalah satu dari sekian banyak patologi yang terjadi di birokrasi pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa perlu adanya perubahan pada budaya organisasi pemerintah, agar Indonesia bisa mewujudkan pemerintahan sesuai dengan prinsip Good and Clean Governance dan menciptakan kesejahteraan bagi segenap masyarakat Indonesia.