Aku terlahir di keluarga yang kurang
mampu. Tapi aku hanya memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai pedagang jajan
keliling, ayahku sudah meninggal sejak aku kecil. Mungkin nasib sial telah ku
bawa sejak lahir. “Dinda, ayo sini sarapan”. Kata-kata itu selalu diucapkan
ibuku sebelum aku berangkat sekolah. Makanan yang sama selama seminggu ini
benar-benar membuatku muak. Tahu dan Tempe itu itu saja bahkan disaat hari
ulang tahunku ini yang ke tujuh belas. Sepertinya ibu lupa itu. Lagipula ulang
tahunku akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya hanya ada kecupan dan ucapan
selamat ulang tahun dari ibu. Tapi aku berharap lebih di umurku yang ke-17 ini
dimana orang-orang sering menyebutnya dengan sweet seventeen. Aku meninggalkan sarapanku dan memilih untuk
langsung berangkat sekolah tanpa pamit, karena aku akan membuat ibu sadar akan
kekesalanku pagi ini. Tapi hari ini ibu tidak banyak bicara, tidak seperti
biasanya. Kurasa ibu sedang sakit. Ibu bahkan tidak mencegahku berangkat sekolah
tanpa sarapan.
Memang beda rasanya sekolah dengan
rumah. Kekesalanku dirumah dengan mudahnya kulupakan setelah bertemu dengan
teman-teman, kuharap sih begitu. Tapi
ternyata tak seorangpun yang mengingat
hari ulang tahunku. Padahal sebenarnya aku berharap ada seseorang memberiku kue
ataupun hadiah. Di perjalanan pulang sekolah seorang laki-laki datang
menghampiriku “Hey Din, Selamat ulang tahun ya. Maaf terlambat aku tidak bisa
menemukanmu disekolah tadi. Ini hadiah dariku semoga kau menyukainya”, Eggy seseorang
yang kutolak dulu. Dia menyodorkan sebuah gantungan kunci dengan boneka kelinci
kecil. Aku tidak menyukainya apa dia coba menghinaku? Tidakkah ada hadiah yang
lebih berharga di umurku yang ke tujuh belas ini? Itu benar-benar tidak special.
Ku ambil itu dari tangannya dan kulempar jauh-jauh. “Hadiah seperti itu
tak pantas kuterima. Apa hanya karena aku kurang mampu kau memberikanku hadiah
murahan seperti itu ?. Jangan menghinaku”, Ku tinggalkan dia.
Sesampai dirumah aku pergi ke meja
makan. Masih sama seperti tadi pagi, sepertinya tak ada yang menyentuh.
Aku benar-benar kesal. Ibu tidak
memasakkan makanan baru. Hari ini ulang tahunku, tapi tidak ada satupun yang
istimewa. Ku banting piring yang berisi tahu dan tempe itu. Aku pergi mencari
ibuku ke kamar. Kulihat ibu sedang tidur. “Ibu jangan bermalas-malasan. Aku
lapar” bentakku pada ibu agar ibu bangun. “Itu tahu dan tempe tadi pagi masih
ada, tolong makan itu dulu. Ibu merasa sedikit pusing maafkan ibu tidak bisa
memasak saat ini” jawab ibu. “Ibu benar-benar menyebalkan. Ini hari ulang
tahunku. Tapi tidak ada yang istimewa. Selama seminggu ibu menyuruhku makan
itu-itu saja. Memuakkan sekali. Aku menyesal dilahirkan oleh ibu sepertimu” ku
banting pintu kamar dan meninggalkan rumah. Ku harap ada sesuatu yang
menyenangkan diluar.
Tetesan hujan membangunkan ku dari
tidurku di bangku taman. Tetesan hujan itu tak lama kemudian menjadi hujan
deras. Aku berlari pulang. Tampaknya ini sudah jam 9 malam. Di tengah
perjalanan kulihat banyak orang berkumpul. Pasti telah terjadi kecelakaan.
Kudengar korbannya seorang ibu-ibu. Seketika terbayang wajah ibu dalam
pikiranku. “Tidak mungkin” kataku dalam hati. Aku berlari pulang
sekencang-kencangnya. Seragam sekolahku basah kuyup tak kupedulikkan, terus
terbayang wajah dan suara panggilan sarapan ibuku. Tanpa kusadari aku telah
meneteskan air mata dijalan. Namun takkan terlihat karena derasnya hujan saat
ini.
Kubuka pintu rumahku yang kecil itu
dengan jantung yang berdebar-debar. Benar-benar mengejutkan. Diatas meja makan
kulihat kue dan boneka yang agak besar seakan-akan menunggu kedatanganku. Tapi
aku tak melihat ibu disini. Aku berjalan untuk mendekati kue dan boneka itu.
Ternyata ibuku yang sedang tertidur dibalik boneka itu. Aku merasa sangat lega.
Aku peluk ibukku sambil menangis. Ibuku terbangun “Dinda syukurlah kamu sudah
pulang. Ibu benar-benar khawatir. Ehh kamu basah kuyup, ayo ganti baju. Dan
rayakan ulang tahunmu bersama-sama. Ibu menghemat uang dan membuatmu untuk
makan tahu tempe selama seminggu demi membelikanmu semua ini lho ”, kata ibuku
sambil tersenyum. Ku peluk ibuku lebih erat “Ibu maafkan aku”. “Tidak apa-apa
Dinda” kata-kata ibu itu membuatku semakin mengeluarkan banyak air mata. Aku
benar-benar tak tau harus bagaimana. Namun, di tengah tangisanku Ibu berkata.
“Selamat ulang tahun, Puteriku”.
lanjutkan git
BalasHapusGood dagit, semangat!
BalasHapus