Sabtu, 09 Juli 2016

Cerpen: Tujuh Belas Tahunku



Aku terlahir di keluarga yang kurang mampu. Tapi aku hanya memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai pedagang jajan keliling, ayahku sudah meninggal sejak aku kecil. Mungkin nasib sial telah ku bawa sejak lahir. “Dinda, ayo sini sarapan”. Kata-kata itu selalu diucapkan ibuku sebelum aku berangkat sekolah. Makanan yang sama selama seminggu ini benar-benar membuatku muak. Tahu dan Tempe itu itu saja bahkan disaat hari ulang tahunku ini yang ke tujuh belas. Sepertinya ibu lupa itu. Lagipula ulang tahunku akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya hanya ada kecupan dan ucapan selamat ulang tahun dari ibu. Tapi aku berharap lebih di umurku yang ke-17 ini dimana orang-orang sering menyebutnya dengan sweet seventeen. Aku meninggalkan sarapanku dan memilih untuk langsung berangkat sekolah tanpa pamit, karena aku akan membuat ibu sadar akan kekesalanku pagi ini. Tapi hari ini ibu tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya. Kurasa ibu sedang sakit. Ibu bahkan tidak mencegahku berangkat sekolah tanpa sarapan.
Memang beda rasanya sekolah dengan rumah. Kekesalanku dirumah dengan mudahnya kulupakan setelah bertemu dengan teman-teman, kuharap sih begitu. Tapi ternyata  tak seorangpun yang mengingat hari ulang tahunku. Padahal sebenarnya aku berharap ada seseorang memberiku kue ataupun hadiah. Di perjalanan pulang sekolah seorang laki-laki datang menghampiriku “Hey Din, Selamat ulang tahun ya. Maaf terlambat aku tidak bisa menemukanmu disekolah tadi. Ini hadiah dariku semoga kau menyukainya”, Eggy seseorang yang kutolak dulu. Dia menyodorkan sebuah gantungan kunci dengan boneka kelinci kecil. Aku tidak menyukainya apa dia coba menghinaku? Tidakkah ada hadiah yang lebih berharga di umurku yang ke tujuh belas ini? Itu benar-benar tidak special.  Ku ambil itu dari tangannya dan kulempar jauh-jauh. “Hadiah seperti itu tak pantas kuterima. Apa hanya karena aku kurang mampu kau memberikanku hadiah murahan seperti itu ?. Jangan menghinaku”, Ku tinggalkan dia.
Sesampai dirumah aku pergi ke meja makan. Masih sama seperti tadi pagi, sepertinya tak ada yang menyentuh. Aku  benar-benar kesal. Ibu tidak memasakkan makanan baru. Hari ini ulang tahunku, tapi tidak ada satupun yang istimewa. Ku banting piring yang berisi tahu dan tempe itu. Aku pergi mencari ibuku ke kamar. Kulihat ibu sedang tidur. “Ibu jangan bermalas-malasan. Aku lapar” bentakku pada ibu agar ibu bangun. “Itu tahu dan tempe tadi pagi masih ada, tolong makan itu dulu. Ibu merasa sedikit pusing maafkan ibu tidak bisa memasak saat ini” jawab ibu. “Ibu benar-benar menyebalkan. Ini hari ulang tahunku. Tapi tidak ada yang istimewa. Selama seminggu ibu menyuruhku makan itu-itu saja. Memuakkan sekali. Aku menyesal dilahirkan oleh ibu sepertimu” ku banting pintu kamar dan meninggalkan rumah. Ku harap ada sesuatu yang menyenangkan diluar.
Tetesan hujan membangunkan ku dari tidurku di bangku taman. Tetesan hujan itu tak lama kemudian menjadi hujan deras. Aku berlari pulang. Tampaknya ini sudah jam 9 malam. Di tengah perjalanan kulihat banyak orang berkumpul. Pasti telah terjadi kecelakaan. Kudengar korbannya seorang ibu-ibu. Seketika terbayang wajah ibu dalam pikiranku. “Tidak mungkin” kataku dalam hati. Aku berlari pulang sekencang-kencangnya. Seragam sekolahku basah kuyup tak kupedulikkan, terus terbayang wajah dan suara panggilan sarapan ibuku. Tanpa kusadari aku telah meneteskan air mata dijalan. Namun takkan terlihat karena derasnya hujan saat ini.

Kubuka pintu rumahku yang kecil itu dengan jantung yang berdebar-debar. Benar-benar mengejutkan. Diatas meja makan kulihat kue dan boneka yang agak besar seakan-akan menunggu kedatanganku. Tapi aku tak melihat ibu disini. Aku berjalan untuk mendekati kue dan boneka itu. Ternyata ibuku yang sedang tertidur dibalik boneka itu. Aku merasa sangat lega. Aku peluk ibukku sambil menangis. Ibuku terbangun “Dinda syukurlah kamu sudah pulang. Ibu benar-benar khawatir. Ehh kamu basah kuyup, ayo ganti baju. Dan rayakan ulang tahunmu bersama-sama. Ibu menghemat uang dan membuatmu untuk makan tahu tempe selama seminggu demi membelikanmu semua ini lho ”, kata ibuku sambil tersenyum. Ku peluk ibuku lebih erat “Ibu maafkan aku”. “Tidak apa-apa Dinda” kata-kata ibu itu membuatku semakin mengeluarkan banyak air mata. Aku benar-benar tak tau harus bagaimana. Namun, di tengah tangisanku Ibu berkata. “Selamat ulang tahun, Puteriku”.

2 komentar: