Minggu, 19 Desember 2021

Korupsi Bansos Keji, Tanda Darurat Budaya Organisasi

 

Carut marut pembagian bansos dan indikasi penyelewangan anggaran menjadi bukti bahwa proyek ini memang banyak menyimpan persoalan. Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara diduga menerima suap sebesar Rp. 17 Miliar dari proyek paket bantuan sosial atau bansos Kementerian Sosial yang disalurkan di wilayah Jabodetabek. Survey ICW terhadap beberapa Lembaga disabilitas data di DKI Jakarta menyatakan bahwa 25% penerima bansos kaum disabilitas didapat belum sesuai dengan yang tertera. Kecurangan pada bansos ini dilakukan melalui 3 model yaitu : pengurangan item bansos, kualitas tidak layak, seharusnya mendapat uang tetapi ditukar dengan paket yang isinya tidak layak digunakan. 

 

Skenario korupsi bansos ini dilakukan dengan perhitungan yaitu harga per paketnya adalah Rp. 300.000, dikurangi biaya transporter Rp.15.000 dan biaya untuk goodie bag sebesar Rp. 15.000 juga. Sedangkan untuk jumlah paket keseluruhan adalah 23,70 juta paket atau senilai dengan Rp. 6,46 triliun. Menteri Sosial Juliari membentuk tim khusus yang terdiri dari direktur jenderal perlindungan jaminan social yaitu Pepen Nazaruddin dan dua orang sebagai pejabat pembuat komitmen yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Tim Khusus ini bertugas untuk menunjuk langsung pemenang tender dan menetapkan isi paket bansos. Peserta tender diminta menyerahkan fee minimal sebesar Rp. 10.000 per paket untuk Mensos. Nilai fee meningkat jadi 10-12% dari nilai proyek, dan juga uang tunai sebesar Rp. 100 Juta untuk surat peruintah kerja. Setiap pejabat parpol, anggota DPR, anggota BPK biasanya dapat jatah sekitar 2-3 juta paket yang pengadaannya menggunakan perusahaan lain. Belum selesai disana, masih ada fee lainnya untuk pejabat kementerian sosial (Sumber: Tempo).  Fakta mirisnya adalah ada dugaan bahwa kongkalikong korupsi bansos sudah direncanakan sejak Februari, menurut Agus Joko Pramono (Wakil Ketua BPK), korupsi biasanya memang sudah mulai direncanakan pada fase penganggaran, sehingga rencana ini diperkirakan sudah ada sejak setahun yang lalu (Mata Najwa: Korupsi Bansos).


Secara formal korupsi didefinisikan dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 2 ayat 1 adalah setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang lain, korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kemudian Pasal 3 menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, korupsi menurut hukum di Indonesia adalah tindakan yang mengandung sejumlah unsur, yakni melawan hukum, merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan wewenang. Hanya sebagai hasil, namun itu merupakan proses yang berkaitan dengan faktor lingkungan dan sistem.


Korupsi saat ini seolah menjadi budaya bagi pejabat di Indonesia, seakan sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah penegakan hukum yang kurang tegas. Kerap kali para pelaku korupsi di tanah air, yang sudah jelas terbukti melakukan tindak korupsi dengan jumlah yang tentunya banyak malah mendapatkan sanksi yang dinilai kurang adil oleh masyarakat. Bukannya tanpa alasan, pada banyak kasus, salah satunya adalah kasus korupsi bansos dengan tersangkanya yaitu Menteri Sosial Juliari Batubara malah mendapat keringanan hukuman oleh hakim dengan alasan tersangka sudah cukup menderita karena mendapat cacian dari publik (Sumber: Kompas.com). Hal ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia memang tajam ke bawah namun tumpul ke atas apalagi dalam kasus korupsi. Mengenai hal ini butuhkan tindak nyata pemerintah dalam menindak kasus korupsi, tindak nyata yang bisa membuat calon-calon koruptor menjadi gentar bukannya malah merasa aman. Ini juga dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah yang oleh rakyat dari rakyat dan untuk rakyat memang benar adanya. 

            

        Selain permasalahan pada penegakan hukum, yang menjadi akar dari kasus korupsi yang turun temurun terjadi adalah karena korupsi yang sudah menjadi budaya di kalangan pejabat elite. Budaya yang beranggapan bahwa perilaku korupsi menjadi hal yang wajar dan penuh toleransi untuk dilakukan mendukung hal ini terjadi terus menerus, entah budaya korupsi atau korupsi yang membudaya. Tentu saja budaya korupsi ini berkaitan erat dengan bagaimana budaya dalam pemerintah yang diimplementasikan. Budaya organisasi bisa diartikan sebagai karakteristik ataupun pedoman yang diterapkan oleh setiap anggota organisasi ataupun kelompok di dalam usaha tertentu. Perlu digaris bawahi bahwa budaya ini memiliki peranan yang penting dalam memotivasi dan juga meningkatkan efektivitas kerja suatu organisasi, baik itu dalam jangka pendek atau jangka panjang. Selain itu, budaya organisasi juga bisa dijadikan sebagai alat dalam menentukan arah organisasi dan juga mengarahkan apa yang boleh dan tidak dilakukan. Tanpa diterapkannya budaya organisasi, maka performa setiap anggota di dalamnya tidak bisa dilakukan secara maksimal. Untuk itu, budaya organisasi memiliki peranan yang penting dalam setiap organisasi atau perusahaan.

    

     Menurut buku Diagnosing and Changing Organizational Culture: Based on the Competing Values Framework yang ditulis oleh Quinn, K. S. tahun 2006, perubahan dan manajemen budaya organisasi adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini kita berada pada era disrupsi, dimana semua hal berubah dengan cepat dan menyeluruh. Tingkat perubahan teknologi yang terkait dengan ledakan informasi telah menciptakan lingkungan yang tidak toleran terhadap status quo. Perubahan yang begitu cepat dan dramatis menyiratkan bahwa tidak ada organisasi yang dapat tetap sama untuk waktu yang lama dan bertahan. Oleh karena itu, tantangan saat ini bukanlah untuk menentukan apakah akan berubah tetapi bagaimana mengubah untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Runtuhnya beberapa perusahaan Fortune 500 tidak diragukan lagi disebabkan oleh upaya perubahan yang lambat, lamban, atau salah arah. Misalnya, tiga inisiatif perubahan organisasi yang paling umum dilaksanakan dalam dua dekade terakhir adalah inisiatif TQM, inisiatif perampingan, dan inisiatif rekayasa ulang (Cameron, 1997). Namun, organisasi yang telah menerapkan inisiatif kualitas untuk meningkatkan efektivitas, pada umumnya gagal. Rath and Strong (sebuah firma konsultan) mensurvei perusahaan Fortune 500 dan menemukan bahwa hanya 20 persen yang melaporkan telah mencapai sasaran kualitas mereka, dan lebih dari 40 persen mengindikasikan bahwa inisiatif kualitas mereka gagal total.


Poinya adalah bahwa tanpa perubahan mendasar lainnya, yaitu, perubahan budaya organisasi, hanya ada sedikit harapan untuk perbaikan kinerja organisasi yang bertahan lama. Meskipun alat dan teknik mungkin ada dan strategi perubahan diimplementasikan dengan penuh semangat, banyak upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi gagal karena budaya dasar organisasi—nilai, cara berpikir, gaya manajerial, paradigma, pendekatan pemecahan masalah—tetap sama. Keberhasilan penerapan TQM dan program perampingan, serta efektivitas kinerja organisasi yang dihasilkan, bergantung pada strategi perbaikan yang tertanam dalam perubahan budaya. Ketika TQM dan perampingan diterapkan secara independen dari perubahan budaya, mereka tidak berhasil. Ketika budaya organisasi ini merupakan target perubahan yang eksplisit, sehingga TQM atau inisiatif perampingan tertanam dalam upaya perubahan budaya secara keseluruhan, mereka berhasil. Efektivitas organisasi meningkat. Perubahan budaya adalah kuncinya.


Ketergantungan perbaikan organisasi pada perubahan budaya ini disebabkan oleh fakta bahwa ketika nilai, orientasi, definisi, dan tujuan tetap konstan—bahkan ketika prosedur dan strategi diubah—organisasi akan kembali dengan cepat ke status quo. Hal yang sama berlaku untuk individu. Tipe kepribadian, gaya pribadi, dan kebiasaan perilaku jarang berubah secara signifikan, meskipun ada program untuk mendorong perubahan seperti diet, rejimen olahraga, atau sekolah pesona. Tanpa pergantian tujuan fundamental, nilai, dan harapan organisasi atau individu, perubahan tetap dangkal dan durasi pendek (lihat Quinn, 1996). Upaya yang gagal untuk berubah, sayangnya, sering menghasilkan sinisme, frustrasi, kehilangan kepercayaan, dan kemerosotan moral di antara anggota organisasi.

 

Pertimbangkan kasus pabrik perakitan mobil General Motors yang terkenal di Fremont, California. United Auto Workers (UAW) mengorganisir berbagai program peningkatan kinerja telah dicoba (lingkaran kualitas, inisiatif hubungan karyawan, kontrol proses statistik, sistem insentif baru, kontrol yang lebih ketat, perampingan, dan lain-lain). Tidak ada yang berhasil. Kualitas, produktivitas, dan tingkat kepuasan tetap buruk. Keputusan dibuat untuk menutup pabrik pada akhir tahun 1982. Kemudian GM melakukan sesuatu yang menarik. Perusahaan mendekati pesaing terbaiknya, Toyota, dan menawarkan untuk merancang dan membangun mobil bersama. GM kehilangan pangsa pasar dari Toyota, sistem produksi Toyota secara umum dianggap sebagai yang terbaik di dunia pada saat itu, dan GM mengalami kesulitan mencari cara untuk memperbaiki rekor kinerjanya yang buruk, terutama dengan kondisi sekarang. GM menawarkan Toyota untuk membangun perusahaan patungan dengan nama NUMMI. Dua dekade kemudian, pabrik NUMMI terus memimpin perusahaan dalam sebagian besar bulan dalam kualitas dan produktivitas. Meski berusia lebih dari dua puluh tahun, eksperimen ini masih menjadi contoh bagi GM (dan bisnis manufaktur lainnya) tentang peningkatan dramatis yang mungkin terjadi.


Apa yang menyebabkan peningkatan dramatis dalam kinerja? penjelasan terbaik dari faktor yang paling penting dapat diilustrasikan dengan wawancara dengan salah satu karyawan produksi di NUMMI. Dia telah bekerja di fasilitas itu selama lebih dari dua puluh tahun. Dia diminta untuk menjelaskan perbedaan yang dia alami antara pabrik saat dikelola oleh GM dan pabrik setelah usaha patungan terbentuk. Anggota UAW ini mengatakan bahwa sebelum usaha patungan, dia akan pulang pada malam hari sambil menertawakan dirinya sendiri tentang hal- hal yang dia pikirkan di siang hari untuk mengacaukan sistem. Sekarang, karena jumlah klasifikasi pekerjaan telah dikurangi secara drastis (dari lebih dari 150 menjadi 6), kami semua diizinkan memiliki kartu nama pribadi dan membuat gelar kami sendiri. Judul yang saya taruh di kartu saya adalah 'direktur peningkatan pengelasan.” Tugasnya adalah memantau robot tertentu yang menyatukan bagian-bagian bingkai. “Sekarang ketika saya pergi ke permainan San Francisco 49ers atau permainan Golden State Warriors atau pusat perbelanjaan, saya mencari Geo Prism dan Toyota Corolla di tempat parkir. Ketika saya melihatnya, saya mengeluarkan kartu nama saya dan menulis di belakangnya, 'Saya membuat mobil Anda. Ada masalah, hubungi saya.’ Saya meletakkannya di bawah wiper kaca depan mobil. Saya melakukannya karena saya merasa bertanggung jawab secara pribadi atas mobil-mobil itu.”


Perbedaan antara Fremont pada tahun 1982 dan Fremont pada tahun 1992, pada saat wawancara dilakukan, merupakan cerminan dari perubahan budaya organisasi. Itu adalah perubahan di tingkat inti, berpusat pada nilai, di dalam tulang dari melihat dunia dengan satu cara pada tahun 1982 menjadi melihatnya dengan cara yang sama sekali berbeda satu dekade kemudian. Karyawan hanya mengadopsi cara berpikir yang berbeda tentang perusahaan dan peran mereka di dalamnya. Tingkat produktivitas, kualitas, efisiensi, dan moral yang lebih tinggi mengikuti langsung dari perubahan budaya perusahaan ini. Tanpa perubahan budaya, hanya ada sedikit harapan untuk perbaikan kinerja organisasi yang bertahan lama.

 

Disaat bencana dan kesulitan terjadi dimana mana, para pejabat publik malah seakan kehilangan rasa empatinya pada masyarakat. Banyak pejabat yang memilih untuk memakai anggaran untuk kesejahteraan masyarakat tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi dan kebutuhan euphoria sesaat, tanpa memikirkan bahwa yang dilakukan mengakibatkan ribuan rakyatnya tidak makan menahan lapar. Kerap kali penegak hukum juga seakan menjadi buta dan tuli, melihat berbagai bukti yang ada, dan menerima korupsi sebagai sesuatu hal yang wajar, tidak dituntaskan secara serius. Standar moral dikalangan pejabat publik dirasa semakin kabur bahkan hilang, korupsi menjadi sesuatu yang wajar dan membudaya. Saat kasus korupsi bansos pertama kali mencut ke publik, masyarakat merasa sangat kecewa dan juga marah. Kerugian korupsi bansos diperkirakan adalah yang paling besar dalam sejarah melebihi korupsi e-ktp sebesar 2,3 T,  BLBI 4,58 T. Keresahan masyarakat menjadi sebuah hal yang wajar. Keresahan ini yang harus dijawab oleh pemerintah. Akhir Januari 2021, Transparansi Internasional, Indeks persepsi korupsi Indonesia, dari angka 40 ke 37, dari peringkat 85 ke 105.  Penanganan Korupsi beberapa tahun belakangan menunjukan penurunan. Korupsi bansos hanyalah satu dari sekian banyak patologi yang terjadi di birokrasi pemerintahan. Hal ini menandakan bahwa perlu adanya perubahan pada budaya organisasi pemerintah, agar Indonesia bisa mewujudkan pemerintahan sesuai dengan prinsip Good and Clean Governance dan menciptakan kesejahteraan bagi segenap masyarakat Indonesia. 

Senin, 17 Desember 2018

Contoh Desain Winner Board

Di akhir kompetisi biasanya akan dibagikan sebuah penghargaan bagi yang memenangkan perlombaan. Penghargaannya dapat berupa: piala, piagam dan juga uang tunai yang biasanya akan diberikan dengan winner board sebagai simbolisnya. Berikut adalah beberapa contoh desain winner board yang dapat anda jadikan inspirasi










Contoh Essay: Kabar Pulau Serangan

Pulau Serangan adalah pulau yang terletak di utara Kota Denpasar. Pulau Serangan adalah Pulau kecil yang menjadi satu-satunya tempat penangkaran penyu di Indonesia. Di pulau ini juga terdapat sebuah Pura, yaitu Pura Sakenan yang cukup terkenal di masyarakat. Setiap Odalan, Pura Sakenan selalu dipenuhi oleh warga sekitar untuk menghaturkan bhakti. Pulau yang dulunya mempunyai luas 73 hektare ini dapat di kunjungi dengan melewati satu jembatan penghubung, itupun jika air pantainya sedang surut, kalau sedang pasang, jembatannya akan tenggelam.
Pulau Serangan banyak juga yang menyebutnya dengan Pulau Penyu. Pulau Serangan merupakan tempat penangkaran Penyu Hijau. Dan disaat tertentu ada momen menarik yang bisa disaksikan langsung di pulau ini, yakni proses melepaskan anak Penyu Hijau atau yang disebut dengan Tukik ke laut. Selain bisa menyaksikan Penyu-penyu yang ada disini, pengunjung juga bisa mengabadikan keindahan Pulau Serangan yang terkenal dengan pantainya yang indah dan deburan ombaknya yang tinggi. Dikala musim penghujan datang, maka berimplikasi pada peningkatan gelombang menjadi tinggi yang biasanya terjadi pada bulan November – April. Makanya dianjurkan kalau mengunjungi Pulau Serangan jangan lupa untuk membawa alat potret atau kamera yang sangat berguna untuk mengabadikan momen-momen penting seperti sunset dan melepaskan Tukik ke laut.
Pulau Seragan juga memiliki hutan bakau. Namun sangat disayangkan karena kelestarian ekosistemnya sudah terganggu. Untuk itu, penduduk lokal dan juga para penggiat kelestarian alam bahu-membahu menanam bibit bakau yang baru. Hutan bakau sangat signifikan peranannya karena memiliki perananan dalam menjaga kelestarian alam.
Namun kini, Pulau Serangan sudah tidak sesederhana itu.  Luas Pulau serangan sudah menjadi 4 kali dari luas sebelumnya.  Untuk berkunjung ke pulau serangan juga sudah sangat mudah, hanya dengan melewat Jl. Raya by pass Sanur – Nusa Dua ke arah bandara, dan secara infrastruktur jalan juga sudah sangat baik.
Desa Serangan terdiri dari enam banjar dan satu kampung. Jumlah jiwa di PulauSerangan mencapai 3253 orang. 85% penduduk bekerja sebagai nelayan. Sejak tahun 70-an ada industri pariwisata di Pulau Serangan, namun pada awal tahun 90-an, kelompok investor mau membangun resort, namanya Bali Turtle Island Development (BTID). Pembebasan tanah masyarakat dilaksanakan, BTID melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan pengerukan dan penimbunan mulai untuk menambah luasan lahan Serangan hampir 4 kali lipat. Namun, dengan adanya proyekBTID menimbulkan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat Pulau Serangan.
Permasalahan utama merupakan kehilangan mata pencaharian untuk masyarakat akibat kerusakan lingkungan dan penimbunan yang dilakukan BTID. Akhirnya, proyek BTID terpaksa berhenti karena kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998.
Proyek reklamasi pulau Serangan sebenarnya sudah di mulai sejak tahun 1990-an, pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Tommy dan Bambang yang merupakan keluarga Cendana adalah salah satu penggagas reklamasi pantai serangan bersama rekan lainnya.
Penguruban Pulau Serangan juga mengakibatkan perubahan arus laut. Ini dikarenakan adanya jalan yang kini menghubungkan pulau serangan. Dampak negative yang ditimbulkan secara fisik dari  pengembangan pulau Serangan bisa terlihat jelas, yaitu terjadinya perubahan alur ombak laut pada pesisir pantai dikawasan selatan. Kalau mulanya atau sebelum pengembangan, ombak laut bisa meliuk melalui sela antara pulau Serangan dengan pulau Bali, maka sekarang tidak lagi, sehingga ombak laut berubah alur. Dengan perubahan ini, berakibat pada sisi-sisi daerah pesisir pantai lainnya terutama yang berjarak antara 1 sampai 10 mil laut dari  pulau serangan. Secara jelas dapat dilihat adalah terjadinya kerusakan pada daerah pantai sekitar Sanur, bahkan sampai ke Padang Galak. Disamping itu juga terjadi dampak terhadap  biota laut di sekitar pulau Serangan sebagai akibat menurunnya pasokan aliran air laut yang  biasanya menggenangi secara normal terhadap biota laut tersebut.
Sebelum penguruban Pulau Serangan, masyarakat dijanjikan dengan ekonomi masyarakat Serangan akan meningkat akibat proyek. Dan yang terjadi malah sebaliknya. Perekekonomian di Serangan mengalami penurunan. Selain 150 warga Serangan yang di-PHK, kebanyakan penduduk tidak dapat pekerjaan dalam proyek BTID. Penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan kehilangan pekerjaannya karena penimbunan di dataran pasang surut dan kerusakan lingkungan lain. Hal itu menyebabkan mereka mengalami kesusahan dalam aspek ekonomi kehidupannya. Menurut salah satu penduduk Serangan, kerugian masyarakat sudah mencapai Rp8.829.250.000 per tahun. Beberapa penduduk Serangan mencoba untuk beralih, mencari sumber nafkah lain. Seperti menjual batu karang dan beberapa penduduk yang terpaksa menambang untuk menghidupi keluarganya karena ikan sudah tidak ada lagi.
Rencana awal dari penguruban pulau Serangan ini adalah Pulau Serangan akan dibuat sebagai one stop place untuk informasi pariwisata. Kabarnya di tempat ini juga akan dibuat sebuah casino-casino model di christmas island. Mungkin itu yang menjadi rencana awal, namun sampai saat ini, rencana itu belum juga terlaksana. Pulau serangan malah menjadi Pulau yang terbengkalai.
Pulau Serangan yang sekarang, adalah sebuah pulau yang tandus, dengan hiasan sebuah gunung sampah yang bau dan menjijikan. Disebelah Pulau Serangan memang terdapat sebuah TPA yang menjadi tempat penimbunan sampah. Saat ini, warga Pulau Serangan memiliki pusat pengelolaan sampah terpadu. Mereka berencana mengolah sampah sampai zero waste, agar tidak ada lagi yang perlu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, TPA terbesar di Bali yang menjadi tetangga dekat mereka.
Lahan tandus hampir dua hektar itu biasanya terlihat kumuh dengan sampah menumpuk bak gunung yang megah. Gerombolan sapi juga sering terlihat ada dalam tempat pembuangan sampah  Suwung tersebut. Sampah hanya ditimbun sehingga menjadi sumber makanan ternak warga sekitar.
Di TPA tersebut terdapat papan yang cukup mencolok berisi gambar seekor penyu dibuat dari kaleng minuman soda bekas. Papan ini bertuliskan “This thrash installation made of 1000 cans collected from Serangan island.” Ada dua papan sejenis lain bertuliskan bank sampah dan bank uang.
Ketika awal-awal program ada komunitas dan LSM yang mendukung. Sejumlah warga sedang mengembangkan program Pengembangan Ekologi Terpadu (PET). Selain memilah sampah juga ingin mengelola hasil olahannya. Ada sekitar 30 pekerja pemilah dan pemungut sampah yang menangani 7 lingkungan yakni  Banjar Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken, Dukuh, dan Lingkungan Kampung Bugis. Kompos juga langsung dimanfaatkan untuk budidaya tanaman khas Serangan yang sudah hampir punah seperti bengkoang.  
Sebagian wilayah Serangan hasil reklamasi masih gersang. Pohon cemara masih bertahan di hamparan batu kapur. Sebagian besar lahan dimiliki investor. Sementara sebagian kecil adalah wilayah pemukiman. Di area ini, sebuah kelompok nelayan masih bertahan melakukan upaya konservasi. Seperti melakukan perbaikan yang sulit dilakukan. Mencoba membuat ekosistem baru, karena perairan rusak pasca reklamasi. Nelayan yang kehilangan pekerjaan pasca reklamasi memilih menambang terumbu karang untuk dijual atau bahan bangunan. Menangkap ikan dengan sianida dan langkah instan cari duit lainnya. Hingga kini mereka masih menumbuhkan terumbu karang dan merayu ikan-ikan datang lagi. Tentu Hal ini membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang.
Pascareklamasi Serangan, perubahan pola kehidupan masyarakat Serangan sangat drastis. Mudahnya akses masuk ke pulau kecil tersebut, orang-orang yang masuk ke sana sulit dikontrol. Sehingga, kasus-kasus kriminalpun semakin meningkat. Ditambah lagi, dengan kondisi lahan yang dipenuhi semak belukar, hal itu membuat orang leluasa berbuat apa saja, di antaranya bunuh diri, berbuat mesum atau mobil bergoyang, dan pemalakan.
Mengingat wilayah tersebut jarang disentuh polisi, kerap dimanfaatkan pengusaha nakal, misalnya menimbun atau penangkaran ikan yang dilindungi. Selain itu, Pulau Serangan juga kerap dimanfaatkan sebagai tempat untuk berbisnis kafe - kafe illegal.
Proyek BTID berdampak pada ‘kain sosial’. Penduduk Serangan mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia – tanahnya dibebaskan oleh pihak militer dengan cara intimidasi, dan dengan ganti rugi yang tidak wajar. Di samping itu, kesucian lahan dan pura Pulau Serangan, termasuk Pura Sakenan, dinilai ‘diganggu’ oleh proyek BTID. ‘Kain sosial’ Serangan berubah secara drastis dengan kehilangan ‘budaya nelayan’
Serangan, yang diperparahkan karena budaya baru susah dicari untuk penduduk ini yang pada umumnya kurang berpendidikan. Juga, proyek juga menyebabkan konflik  dalam masyarakat Serangan, yang dulu relatif tentram, dengan demikian merusak persatuan masyarakat Serangan.
Pengerukan yang dilakukan oleh PT. BTID dengan kedalaman lebih dari 40 meter dengan lebar 15 m dengan bentuk menyerupai kanal di dasar laut memanjang dari sisi timur laut serangan hingga ke arah barat lalu membelok ke arah selatan, akibat dari pengerukan ini adalah timbulnya endapan lumpur dengan tebak kurang lebih 1 m di beberapa tempat. Persoalan ini merembet ke Pelabuhan Benoa yang terletak di sisi barat daya dari pulau serangan. Beberapa jalur keluar masuk kapal dari pelabuhan ditemukan pendangkalan akibat endapan lumpur.
Pulau Serangan yang indah dan sacral, sekarang seakan tergoyak tidak berdaya. Hanya bisa diam, menunggu perlakuan apalagi yang akan diterimanya. Disaat seperti ini, saat Pulau Serangan dipenuhi dengan timbunan sampah bau, dipenuhi dengan tinja sapi, dipenuhi dengan semak belukar, dipenuhi dengan kafe – kafe illegal dan kerusakan lainnya yang diakibakan oleh oknum yang tamak itu harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Masyarakat bahu membahu untuk memberbaharui alamnya. Masyarakat yang sadar akan pentingnya alam, berusaha untuk mengembalikan Serangan seperti dulu. Pemerintah yang berwenang seharusnya lebih kritis dalam mengambil keputusan, tidak hanya memprioritaskan uang, namun juga keamanan dan kenyamanan masyarakat disana. Perubahan tidak selalu akan menjadi lebih baik.
Masyarakat juga dinilai harus lebih mempertimbangkan, pihak mana yang benar dan pihak mana yang hanya mencari keuntungan semata, tanpa memikirkan keajegan pulau serangan.  Sekarang proyek BTID berhenti karena kekurangan dana, sementara kerusakan lingkungan dan kesusahan penduduk dalam hidupnya berlangsung. Solusi untuk permasalahan yang muncul akibat BTID harus ditemui, dan beberapa diajukan dalam Sampai sekarang, proyek BTID menimbulkan lebih banyak permasalahan daripada pemanfaatan untuk masyarakat Serangan. Ada kerusakan lingkungan, yang menyebabkan kehilangan mata pencaharian untuk 85% penduduk yang merupakan nelayan pesisir. Ada pelanggaran HAM, ‘kain sosial’ telah berubah, dan penduduk Serangan mengalami kerugian besar.
Pulau Serangan harus dikembalikan seperti dulu, saat ia masih menjadi idola para wisatawan, saat masih menyajikan panorama yang indah. Kita semua harus saling sadar-menyadari betapa pentingnya alam ini, alam yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Hutan bakau yang mulai tercemar sampah, terumbu karang yang muali habis perlahan, ikan-ikan yang kabur dan semua yang rusak harus diperbaiki. Hal ini tentu memerlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga perlahan-lahan, melalui proses dan waktu yang lama, Taksu Pulau Serangan dapat kembali seperti sedia kala. 

Rabu, 27 Juli 2016

Contoh Profile


Ni Luh Komang Diah Puspita Dewi:  Bintang di Balik Layar
“Pementasannya gak cocok untuk ikut lomba,” Sekilas kalimat sederhana itu berhasil membuat sebuah petualangan baru dalam hidupnya dimulai. Untuk urusan akting dialah jagonya. Dia bukan artis ataupun pemain drama. Namun, dialah kunci dari suksesnya pementasan tersebut berjalan. Yaa… Dialah sang sutradara.

Ni Luh Komang Diah Puspita Dewi adalah seorang siswi yang duduk di kelas 12, SMAN 3 Denpasar. Gadis yang akrab di sapa Diah ini adalah seorang sutradara handal. Diah menekuni bidang teater sudah sejak kelas 4 SD.  Ia sempat memperoleh predikat sutradara terbaik dalam ajang lomba Topenk Party, yang merupakan sebuah lomba OPERET se-Bali. Prestasi tersebut diraihnya bukan dengan perjuangan yang cuma –  cuma, melainkan dengan usaha dan tekad yang sungguh – sungguh.
Hambatan demi hambatan ia lalui dengan sabar. Salah satunya adalah ketika ia harus berangkat study tour, namun tiba – tiba sehari sebelum itu, ia harus merombak total naskah drama yang telah ia buat sebelumnya, karena dinilai kurang layak oleh senior - seniornya. “Sehari sebelum aku berangkat study tour, aku disuruh ngerombak total naskah, mana belum packing. Krodit banget deh pokoknya,” seru gadis penggemar warna merah ini sembari tersenyum manis mengingat masa sulitnya.
            Disaat teman – teman lain sedang asyik menikmati perjalanan panjang, lain halnya dengan diah. Berbekal sebuah handphone, ia dengan sabar mulai merombak ulang naskah dramanya di dalam bus yang ia tumpangi. “Jadi selama perjalanan study tour itu, hampir ½ waktu ku, aku buat untuk ngurusin naskahnya dan itu aku ngetiknya di Hp,” tutur gadis kelahiran Denpasar, 10 November 1998 ini. Namun, hal tersebut tidak menurunkan kadar semangatnya.
Setelah bergutat dengan handpone dan bus selama beberapa hari, akhirnya Diah pulang. Bukanya beristirahat seperti yang lainnya, ia malah sibuk mempersiapkan rekaman untuk teman – temannya. “Malam aku sampai di Bali, dan besoknya aku udah harus nemenin temen - temen ku rekaman untuk operetnya itu,” tuturnya sembari merapikan rambut panjangnya.  
            Perjuangannya tidak hanya sampai disana. Setelah rekaman versi sistem kebut semalam itu berjalan, gadis  penggemar siomay ini menjalani latihan full seharian dari pulang sekolah hingga jam 10 malam selama 2 minggu. “Aku orangnya nggak galak, cuma gak bisa lama - lama. Jadi semuanya itu harus serba sigap dan cepet, kalau enggak ya aku marahin,” ucapnya sembari tertawa kecil.
            Usaha tidak pernah menghianati hasil, begitulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kisah dari gadis yang berzodiak scorpio ini. Semua perjuangannya terbayar dengan juara yang diraihnya dalam perlombaan itu, diantaranya: Juara 1 Pementasan Terbaik, Juara 1 Artistik Terbaik, Juara 1 Penataan Musik Terbaik, Juara 1 dan Sutradara Terbaik. “ 4 juara dalam 1 lomba sekaligus, Seneng bangetlah, tapi sempat gak percaya juga hehe,” ujarnya sembari tersenyum bangga dengan wajah berseri – seri.
“Hal yang kamu pikir kamu gak bisa, kalau udah kamu coba gak akan sesulit dan seseram yang kamu kira,” ujarnya di akhir wawancara. Sesulit apapun cobaan yang ada, dengan keyakinan dan usaha yang tekun, serta tetap berdoa kepada tuhan, pasti akan menemukan cahaya, untuk meraih bintang terangnya. (git)


Selasa, 19 Juli 2016

Tajuk: Siswa Baru, Bukan Barang Baru!



Pada tahun ajaran baru tiba, yang menjadi salah satu hal menarik bagi sekolah, khususnya untuk Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) adalah adanya siswa baru yang masuk. Dengan datangnya siswa baru ini tentu memerlukan proses agar siswa tersebut dapat menyesuaikan diri dengan sekolahnya yang sekarang. Tidak hanya kesiapan dari siswa baru itu sendiri yang perlu diperhatikan, namun kesiapan siswa lama atau senior juga tidak luput dari suksesnya proses adaptasi dari siswa baru itu sendiri. Hal ini penting, agar nantinnya adik kelas atau kakak kelas kedepanya masing – masing dapat mengenyam pendidikan dengan nyaman dan berhubungan dengan harmonis.
Masa adaptasi siswa baru ini di SMA kerap disebut dengan MOS (Masa Orientasi Siswa). Namun sejak tahun ajaran 2016/2017, khususnya di SMAN 3 Denpasar MOS ini diganti dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Hal ini disebabkan oleh beberapa kasus yang timbul akibat dampak buruk MOS yang dijalankan dengan cara yang kurang tepat. Diantaranya adalah peloncoan yang masih kerap terjadi, seperti membuat malu siswa baru dengan pernak - pernik yang aneh-aneh maupun membebani siswa baru selama mengikuti kegiatan di sekolah.
Tidak hanya peloncoan saja yang berlangsung, namun perintah dari senior untuk membawa barang – barang yang sulit dicari merupakan salah satu beban yang berat. Walaupun terlihat sepele, namun hal ini dapat memicu terjadinya masalah yang besar. Dengan keadaan yang sudah lelah, ditambah harus berkeliling mencari barang bawaan, memberi peluang besar terjadinya kecelakaan.
Tidak hanya itu, yang paling berat adalah  tekanan – tekanan yang diberikan oleh senior atau panitia pelaksana MOS, yang dituangkan dalam bentuk maki – makian, serta  dilakukan di depan umum tanpa alasan yang jelas. Hal ini bukannya akan membentuk mental yang kuat atau mandiri seperti yang diharapkan, namun sebaliknya, dengan hal seperti ini malah akan menekan jiwa dan mental dari siswa baru tersebut.
Semua hal tersebut terjadi karena kurangnya perhatian dan tindak lanjut bagi tindakan – tindakan yang menyalahi aturan MOS, beberapa pihak bahkan beberapa sekolah cenderung menganggap remeh hal tersebut. Bagaimanapun siswa baru tetaplah seorang siswa, bukan barang yang dapat diperlakukan semena – mena, dimaki atau direndahkan seenaknya. Hal – hal yang tidak bermanfaat, membawa barang yang hanya  mebebankan siswa baru sudah seharusnya tidak diberlakukan. Dengan dibiarkanya proses MOS yang semena – mena tetap berlangsung merupakan sebuah tindakan pembodohan massal. Membuat generasi muda menanamkan pikiran bahwa “Yang kuat yang berkuasa, boleh memberlakukan yang lemah seenaknya”.
Dengan diselenggarakan MPLS, yang sistemnya bertolak belakang dengan MOS ini  dapat membentuk siswa – siswa baru yang cerdas, mandiri, berbudaya dan berkarakter lingkungan melalui kegiatan yang mendidik dan bermanfaat. Serta membentuk mental anak bangsa yang percaya diri, berani tapi tetap tau posisi dan batasan - batasan yang tepat, dengan cara yang tentram dan damai,  perwujudan dari revolusi mental.



Minggu, 17 Juli 2016

Essay Foto: BAGIAN BULAN YANG REDUP



Terminal Batu Bulan yang terlihat sepi pengunjung

Terminal Batu Bulan adalah terminal yang ada di daerah Batubulan, Kec. Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali. Pemandanganya terlihat kumuh dengan beberapa gundukan sampah di setiap pojoknya. Bukanya penumpang namun yang ada adalah pedagang – pedagang yang setia menghuni terminal Batu Bulan.

Terminal merupakan sebuah tempat dimana angkutan umum berlaga untuk mengangkut penumpang. Namun, pernyataan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan terminal di Batu Bulan ini. Sebuah terminal yang tidak menunjukan tanda – tanda kehidupan sebagaimana terminal pada umunya, seakan sudah “mati”. Tempat ini hanya menjadi terminal dari pagi menjelang sore hari, sedangkan dari sore hingga malam hari berubah menjadi pasar senggol.

 Di balik redupnya terminal ini, ada segelintir orang yang masih menggantungkan hidupnya di sini. Beberapa sopir angkutan beserta dengan angkutanya terlihat duduk santai, berbagi cerita satu sama lain, sembari berharap mendapat beberapa pundi – pundi rupiah, sekedar untuk mengisi perut yang keroncongan. Tidak terlihat ada penumpang, yang ada hanya seekor anjing yang berlagak menjadi penumpang yang sedang menunggu di halte, unik sekali.

Semua ini berlangsung sejak terjadinya tragedi Bom Bali. Kejadian itu membuat terminal yang dahulunya ramai, menjadi sumber mata pencaharian para sopir  beralih fungsi menjadi sumber mata pencaharian para pedagang. Kendati demikian, sopir – sopir angkutan umum ini tidak pantang menyerah, dengan penuh kesabaran dan harapan menanti adanya penumpang yang akan datang, menunjang hidup mereka. Kehidupan memang tidak selembut permen kapas,namun dengan usaha, kesabaran dan juga rasa syukur, semuanya akan menjadi sedikit cerah. 




Sopir angkutan yang sedang menunggu penumpang datang

Seorang nenek sedang beristirahat di sebuah bangku yang ada di Terminal Batu Bulan

Halte di Terminal Batu Bulan yang sudah beralih fungsi menjadi Kios pedagang

Seekor anjing yang nampak bersantai di sebuah halte  yang sepi, seakan sedang menunggu angkuran datang.


Gerobak para pedagang pasar senggol yang berbaris rapi di pinggir terminal batu bulan 

Sabtu, 09 Juli 2016

Cerpen: Tujuh Belas Tahunku



Aku terlahir di keluarga yang kurang mampu. Tapi aku hanya memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai pedagang jajan keliling, ayahku sudah meninggal sejak aku kecil. Mungkin nasib sial telah ku bawa sejak lahir. “Dinda, ayo sini sarapan”. Kata-kata itu selalu diucapkan ibuku sebelum aku berangkat sekolah. Makanan yang sama selama seminggu ini benar-benar membuatku muak. Tahu dan Tempe itu itu saja bahkan disaat hari ulang tahunku ini yang ke tujuh belas. Sepertinya ibu lupa itu. Lagipula ulang tahunku akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya hanya ada kecupan dan ucapan selamat ulang tahun dari ibu. Tapi aku berharap lebih di umurku yang ke-17 ini dimana orang-orang sering menyebutnya dengan sweet seventeen. Aku meninggalkan sarapanku dan memilih untuk langsung berangkat sekolah tanpa pamit, karena aku akan membuat ibu sadar akan kekesalanku pagi ini. Tapi hari ini ibu tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya. Kurasa ibu sedang sakit. Ibu bahkan tidak mencegahku berangkat sekolah tanpa sarapan.
Memang beda rasanya sekolah dengan rumah. Kekesalanku dirumah dengan mudahnya kulupakan setelah bertemu dengan teman-teman, kuharap sih begitu. Tapi ternyata  tak seorangpun yang mengingat hari ulang tahunku. Padahal sebenarnya aku berharap ada seseorang memberiku kue ataupun hadiah. Di perjalanan pulang sekolah seorang laki-laki datang menghampiriku “Hey Din, Selamat ulang tahun ya. Maaf terlambat aku tidak bisa menemukanmu disekolah tadi. Ini hadiah dariku semoga kau menyukainya”, Eggy seseorang yang kutolak dulu. Dia menyodorkan sebuah gantungan kunci dengan boneka kelinci kecil. Aku tidak menyukainya apa dia coba menghinaku? Tidakkah ada hadiah yang lebih berharga di umurku yang ke tujuh belas ini? Itu benar-benar tidak special.  Ku ambil itu dari tangannya dan kulempar jauh-jauh. “Hadiah seperti itu tak pantas kuterima. Apa hanya karena aku kurang mampu kau memberikanku hadiah murahan seperti itu ?. Jangan menghinaku”, Ku tinggalkan dia.
Sesampai dirumah aku pergi ke meja makan. Masih sama seperti tadi pagi, sepertinya tak ada yang menyentuh. Aku  benar-benar kesal. Ibu tidak memasakkan makanan baru. Hari ini ulang tahunku, tapi tidak ada satupun yang istimewa. Ku banting piring yang berisi tahu dan tempe itu. Aku pergi mencari ibuku ke kamar. Kulihat ibu sedang tidur. “Ibu jangan bermalas-malasan. Aku lapar” bentakku pada ibu agar ibu bangun. “Itu tahu dan tempe tadi pagi masih ada, tolong makan itu dulu. Ibu merasa sedikit pusing maafkan ibu tidak bisa memasak saat ini” jawab ibu. “Ibu benar-benar menyebalkan. Ini hari ulang tahunku. Tapi tidak ada yang istimewa. Selama seminggu ibu menyuruhku makan itu-itu saja. Memuakkan sekali. Aku menyesal dilahirkan oleh ibu sepertimu” ku banting pintu kamar dan meninggalkan rumah. Ku harap ada sesuatu yang menyenangkan diluar.
Tetesan hujan membangunkan ku dari tidurku di bangku taman. Tetesan hujan itu tak lama kemudian menjadi hujan deras. Aku berlari pulang. Tampaknya ini sudah jam 9 malam. Di tengah perjalanan kulihat banyak orang berkumpul. Pasti telah terjadi kecelakaan. Kudengar korbannya seorang ibu-ibu. Seketika terbayang wajah ibu dalam pikiranku. “Tidak mungkin” kataku dalam hati. Aku berlari pulang sekencang-kencangnya. Seragam sekolahku basah kuyup tak kupedulikkan, terus terbayang wajah dan suara panggilan sarapan ibuku. Tanpa kusadari aku telah meneteskan air mata dijalan. Namun takkan terlihat karena derasnya hujan saat ini.

Kubuka pintu rumahku yang kecil itu dengan jantung yang berdebar-debar. Benar-benar mengejutkan. Diatas meja makan kulihat kue dan boneka yang agak besar seakan-akan menunggu kedatanganku. Tapi aku tak melihat ibu disini. Aku berjalan untuk mendekati kue dan boneka itu. Ternyata ibuku yang sedang tertidur dibalik boneka itu. Aku merasa sangat lega. Aku peluk ibukku sambil menangis. Ibuku terbangun “Dinda syukurlah kamu sudah pulang. Ibu benar-benar khawatir. Ehh kamu basah kuyup, ayo ganti baju. Dan rayakan ulang tahunmu bersama-sama. Ibu menghemat uang dan membuatmu untuk makan tahu tempe selama seminggu demi membelikanmu semua ini lho ”, kata ibuku sambil tersenyum. Ku peluk ibuku lebih erat “Ibu maafkan aku”. “Tidak apa-apa Dinda” kata-kata ibu itu membuatku semakin mengeluarkan banyak air mata. Aku benar-benar tak tau harus bagaimana. Namun, di tengah tangisanku Ibu berkata. “Selamat ulang tahun, Puteriku”.